TUGAS
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
OUTSOURCING
OLEH:
AHMAD
ZAINUL HASAN
121810401026
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU ENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
Outsourcing
Outsourcing dalam
sistem hubungan kerja
masih menimbulkan sejumlah persoalan.
Persoalan ini tidak
hanya dari kalangan
pekerja atau buruh yang
memang sejak awal
sudah menentang legalisasi
outsourcing ini,
persoalan juga dirasakan oleh
kalangan pelaku usaha atau
pengusaha karena sejumlah
peraturan yang ada
belum sepenuhnya tuntas bahkan
terkesan kabur dan
tidak jelas serta
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pemborongan pekerjaan (outsourcing) bukanlah isu baru karena telah dikenal dalam KUH
Perdata tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang diatur dalam buku III
Bab 7a Pasal
1601 b KUH Perdata.
Dari sejarah outsourcing telah dipraktekkan di
perusahaan industri besar
seperti pertambangan dan
juga perusahaan perkebunan sejak masa Hindia Belanda. Outsourcing kemudian menjadi wacana yang
hangat sejak UU No.13 atau 2003
memuat tentang pemborongan pekerjaan ini sebagaimana termuat dalam Pasal 65 dan
66 UU 13 Tahun 2003.
Masalah
saat ini adalah
outsourcing diterapkan
menyimpang dari praktek outsourcing yang
sesungguhnya. Dalam hal
ini satu perusahaan
penyedia pekerja atau buruh menjadi
pemasok bagi perusahaan
lain sebagai pengguna
tenaga kerja. Tidak hanya
itu saja, outsourcing yang
semula untuk melakukan pekerjaan yang tidak
masuk dalam kategori
kegiatan inti perusahaan
(core activity) saat
ini justru ada yang
menggunakan pekerja atau buruh
outsourcing untuk
melakukan pekerjaan inti. Akibat dari praktek ini pekerja atau buruh menjadi tidak jelas hak-haknya,
termasuk mengenai pengupahan,
hak berserikat, hak
atas jaminan pekerjaan, hak atas juminan social, dan
sebagainya.
Di samping itu saat ini Indonesia belum siap untuk
menerapkan outsourcing
dikarenakan kondisi pasar
kerja yang masih
tidak berpihak pada
pekerja atau buruh. Dari sisi
hukum permintaan dan
penawaran tenaga kerja
jelas bahwa posisi
tawar pekerja atau buruh sangat
lemah sehingga apabila
outsourcing diterapkan
maka pemerintah harusnya menetapkan
instrumen hukum yang
jelas untuk membatasi dan
mengawasi praktek outsourcing sehingga
tidak mengarah pada
perdagangan tenaga kerja (human
trafficking in person for labor) dan perbudakan gaya baru.
Permasalahan
mendasar yang kemudian
mengemuka adalah bagaimanakah aturan hukum yang
mengatur tentang outsourcing dan
kerja kontrak saat
ini? bagaimanakah upaya yang
dapat dilakukan agar outsourcing dan
kerja kontrak tidak mengarah pada perdagangan tenaga kerja dan perbudakan
(Agusmidah,2011).
Pada
hakekatnya Outsourcing adalah sebuah
pola kerja dengan
cara mendelegasikan operasi dan
manajemen harian dari
suatu proses bisnis atau kerja pada pihak lain
di luar perusahaan
yang menjadi penyedia
jasa outsourcing. Dengan demikian dalam outsourcing terjadi
pendelegasian tugas dari
perusahaan pemberi kerja pada
perusahaan lain selaku penerima kerja untuk melakukan suatu pekerjaan yang diperlukan
perusahaan pemberi. Dalam
praktek di perusahaan
perkebunan misalnya
perusahaan penghasil gula tebu,
dalam perkebunan tersebut untuk tujuan produksi yaitu menghasilkan gula maka
dilakukan serangkaian kegiatan dari proses penanaman tebu, pengangkutan tebu
dari kebun ke pabrik sampai proses pengolahan tebu menjadi
gula. Dalam rangkaian
proses kerja tersebut
perusahaan perkebunan
penghasil gula tersebut
menyerahkan pekerjaan pada
perusahaan lain seperti misalnya untuk pengangkutan tebu diserahkan pada
perusahaan pengangkutan yang sekaligus
menyediakan pekerja atau buruh
untuk melakukan penebangan,
pembersihan, pengikatan dan penyusunan
tebu sampai ke
atas truk pengangkut.
Pekerja atau buruh tebang tebu
memperoleh gaji dari
si perusahaan pengangkutan
dan tidak memiliki hubungan kerja
dengan perusahaan perkebunan,
sejauh ini hubungan
kerja yang terjadi masih
jelas, bahwa pekerja atau buruh tebang hanya
memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemborong bukan pada
perusahaan perkebunan.
Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh dapat terlihat dari problematika outsourcing (Alih Daya) yang akhir-akhir
ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika outsourcing
(Alih Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin
marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai
untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi dengan
hegemoni kapitalisme financial yang
beroperasi melalui “dissolution subject”,
yang tidak memandang pekerja atau buruh
sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai objek yang
bisa di eksploitasi (Ilmu,2009).
Problema outsourcing di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik
outsourcing dengan Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah
kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah
justru melegalkan praktik outsourcing
yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja atau buruh
Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja
atau buruh, utamanya pekerja kontrak
yang bekerja pada perusahaan outsourcing
ini dapat dilihat dari banyaknya penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma
kerja dan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh
pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourcing.
Penyimpangan dan pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. perusahaan
tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan
penunjang perusahaan (non core bussiness)
yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam
praktiknya yang di-outsource adalah
sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap
sifat dan jenis pekerjaan yang di-outsource mengakibatkan pekerja atau buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis
pekerjaan pokok atau pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, bukan kegiatan penunjang
sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang;
2. Perusahaan
yang menyerahkan pekerjaan (principal)
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain atau perusahaan penerima pekerjaan (vendor)
yang tidak berbadan hukum.
3. Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja atau buruh
outsourcing sangat minim jika
dibandingkan dengan pekerjaan atau buruh lainnya yang bekerja langsung
pada perusahaan Principal dan tidak
sesuai dengan peraturan (Agusmidah,2011).
Komentar :
Masalah
Outsourcing harus segera diatasi.
Karena dengan terjadinya penyimpangan outsoursing
secara terus menerus maka, akan menimbulkan masalah baru bagi pekerja tetap.
Sebab pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pekerja malah diambil alih oleh
para buruh. Dengan pengambilan alih pekerjaan oleh para buruh menyebabkan
penyerapan tenaga kerja tetap menjadi terganggu. Sebab dengan outsourcing perusahaan dapat membayar
dengan gaji yang lebih murah. Sehingga pekerja tetap menjadi terbatas dalam
penerimaannya. Dengan begitu maka banyak yang menjadi pengangguran.
Pelegalan outsourcing di Indonesia menjadi masalah outsourcing di Indonesia
menjadi tambah parah. Dengan begini maka semakin menjamurnya praktek outsourcing. Dengan begitu buruh yang
bukan merupakan pekerja tetap akan menjamur.
Outsourcing
juga akan menimbulkan perusahaan akan memilih mengguanakan outsourcing saja
dalam mempekerjakan. Proyek yang sedang dilakukan perusahaan.
Daftar
Pustaka
Agusmidah. 2011. Outsourcing Dan PKWT
Dalam Sistem Hubungan Kerja Merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas
Ketenagakerjaan. Medan : Universitas Sumatra Utara.
Ilmu, Uti Royen. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten
Ketapang). Semarang: Universitas Diponegoro.
0 komentar:
Posting Komentar